Kebenaran Tidak Selalu Tampil Di Headline

Berita Utama
Zaman dulu sampai kira-kira tahun 2010, wartawan akrab dengan pena, buku mini dan tape perekam. Namun saat kecanggihan teknologi dan arus informasi seperti tsunami, tiga komponen itu lenyap. Sebagai gantinya, wartawan masa kini dalam aktifitas di lapangan rata-rata menggunakan handphone yang fiturnya memungkinkan untuk langsung mengetik berita, voice note bahkan mengambil foto Nara sumber.
Dengan keberadaan perangkat seperti itu, memudahkan para jurnalis dalam bekerja untuk memburu proyeksi yang ditetapkan oleh dapur redaksi.
Meski demikian, secara kualitas nampak terjadi penurunan, termasuk data juang jurnalis baik dalam memburu berita maupun menciptakan issu eksklusif. Zaman dulu wartawan ditempa, digembleng semi militer sehingga kualitasnya bagus. Bukan dalam artian wartawan masa kini kualitasnya tidak bagus, ada tapi minim.
Rilis kegiatan pemerintahan beberapa tahun belakangan sudah dikerjakan langsung oleh humas pemerintah. Ini menjadikan wartawan seolah dimanja yang akhirnya cenderung malas melakukan peliputan secara langsung. Padahal, jika liputan langsung, akan banyak issu yang bisa ditanyakan ke nara sumber.
Mungkinkah para jurnalis masa kini sudah kehilangan ketajaman menganalisa suatu issue? Tajam itu perlu karena itu untuk membedakan mana daging mana tulang, antara fakta dan fatamorgana, antara berpikir atau sekedar ikut ikutan. Beberapa organisasi profesi kewartawanan dan lembaga perusahaan media sebenarnya sudah sering melakukan pelatihan-pelatihan seperti uji kompetensi wartawan (UKS). Tapi namanya ujian ibarat seseorang yang me jalani studi pembelajaran. Ilmu yang diserap, output yang didapat dan fakta yang terjadi di lapangan kerap berubah.
Jika hanya sekedar uji kompetensi tanpa mengimplementasikan ilmu yang didapat, maka UKW akhirnya hanya sekedar pembelajaran singkat alias penasbihan profesi.
Wartawan juga perlu dan rajin melakukan literasi, pandai membaca dan menciptakan issue, bukan sekedar hunting dan menghabiskan belasan kopi saat di lapangan.
Ibarat sebuah lahan tandus, maka bagaimana caranya lahan itu bisa jadi lahan produktif, diperlukan adanya semua instrumen, sumber daya dan energi. Pun begitu juga wartawan biasakan verifikasi dan jangan hanya baca judul tapi baca konteks, cek sumber . Karena kebenaran tidak selalu tampil di headline..

Tinggalkan Balasan